SANTABETA

"SAMONTO DANA RA RASA DI RASA DOU"

AFFIRMATIVE ACTION TENTANG QUO VADIS PEREMPUAN DALAM POLITIK DI INDONESIA

AFFIRMATIVE ACTION TENTANG QUO VADIS PEREMPUAN DALAM POLITIK
DI INDONESIA

I.    Latar Belakang
Pada prinsipnya semua orang setuju bahwa bentuk pemerintahan yang demokratis merupakan bentuk yang paling ideal dan didambakan oleh rakyat. Kata demokrasi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.
Dengan kata lain, rakyatlah yang memegang wewenang tertinggi dalam proses pemerintahan. Para pemimpin merupakan pemegang mandat yang harus tunduk kepada suara rakyat melalui wakil-wakil mereka yang duduk dalam kursi kepemimpinan. Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam peri kehidupannya menghargai hak asasi manusia secara adil dan setara, mengakui dan memajukan akan kebebasan. Dalam penghargaan terhadap hak yang adil dan setara tersebut tercermin adanya penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya terhadap kelompok-kelompok minoritas. Hal ini juga mencakup adanya jaminan partisipasi politik bagi semua warga. Partisipasi dalam sistem politik merupakan tugas yang kompleks dan menantang, khususnya bagi sektor-sektor masyarakat yang secara tradisional terpinggirkan. Perempuan mewakili salah satu kelompok yang dirugikan sebagai akibat dari peran-peran yang diterjemahkan secara sosial dan budaya dan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah-ranah produktif, reproduktif dan politik.
Perempuan sebagai salah satu kelompok minoritas sampai saat ini masih berada dalam posisi subordinat dibanding laki-laki. Meskipun secara kuantitatif mereka lebih banyak tetapi hal ini tidak berarti ada jaminan terhadap hak-hak mereka. Faktor budaya merupakan salah satu penghambat bagi perempuan untuk tampil dalam forum publik. Kuatnya peran laki-laki dalam kehidupan publik sangat menentukan setiap keputusan-keputusan yang diambil meskipun itu menyangkut kehidupan perempuan. Hal ini menempatkan posisi perempuan semakin termarginalkan, terutama dalam partisipasi politik semata-mata karena mereka adalah perempuan. Inilah yang disebut sebagai diskriminasi berbasis gender.
Partisipasi politik perempuan merupakan salah satu prasyarat terlaksananya demokrasi. Karena tidak ada demokrasi yang sesungguhnya jika masih terdapat pengingkaran kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sehingga berakibat ‘tersingkirnya’ perempuan dari gelanggang politik. Kehidupan demokrasi yang sejati adalah kehidupan dimana semua anggota masyarakat mendapat kesempatan yang
sama untuk bersuara dan didengar. Peran politik sangat penting untuk mendorong kebijakan yang berkeadilan sosial, terutama yang berkaitan dengan kehidupan perempuan. Sementara melalui kebijakan, hukum dapat
berlaku melindungi kepentingan kaum perempuan dari berbagai bentuk kekerasan baik domestik maupun publik. Seperti yang diungkapkan oleh Ery Seda tentang politik, bahwa politik
seharusnya memikirkan kepentingan masyarakat umum dimana demokrasi sebagai sarana, bukan sebagai arena pencapaian uang dan kekuasaan.
II.    Peran dan Partisipasi Perempuan dalam Politik
Lebih dari seratus tahun setelah perempuan memperoleh hak suara di Selandia Baru, negara pertama yang mengakui hak politik perempuan, masalah partisipasi politik perempuan selalu menempati agenda internasional, nasional hingga daerah.3 Perempuan harus memperjuangkan dengan keras hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan budaya. Mayoritas masyarakat selalu menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua, bahkan cenderung tidak memiliki status dalam masyarakat. Seperti yang ditulis oleh Virginia Woolf dalam A Room of One’s Own, tentang kesadaran adanya pemisahan dunia publik dan domestik bagi perempuan. Perempuan tidak memiliki akses ke dalam dunia publik, sementara di lingkup domestik perempuan juga tidak memiliki kekuasaan memutuskan atau hak atas milik.4 Hal ini tercermin dalam sistem tradisional yang diwakili oleh institusi dominan, mulai dari pendidikan, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan yang sangat patriarki sehingga membatasi dan mengeluarkan perempuan dari segala aspek kegiatan publik. Melalui institusi-institusi tersebut keluar kebijakan-kebijakan bagi semua warga termasuk perempuan. Tentu saja kebijakan-kebijakan tersebut sangat bias laki-laki karena yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan semata-mata hanya laki-laki, yang diandaikan sebagai kepala keluarga yang berarti adalah representasi keluarga, meskipun hal itu berkaitan dengan aspek kehidupan perempuan. Melalui kebijakan yang maskulin inilah  dominasi laki-laki menjadi semakin sah.
Dominasi tersebut seringkali dibungkus dengan nilai-nilai sosial, perangkat hukum, pertimbangan kesehatan, bahkan dengan simbol-simbol agama dan budaya. Hal yang paling sering dikemukakan adalah masalah kontrasepsi. Bagi sebuah negara, keberhasilan dalam pengendalian laju populasi dapat dilihat dalam penggunaan alat kontrasepsi yang notabene penggunanya adalah perempuan. Sementara masalah kontrasepsi dan teknologi reproduksi sepenuhnya berada di bawah kendali laki-laki. Artinya, persoalan-persoalan seperti keputusan atau pilihan pemakaian alat kontrasepsi, jenisnya dan juga waktu pemakaiannya seringkali di luar keputusan perempuan itu sendiri. Bahkan perempuan cenderung tidak diberi kesempatan untuk memperoleh informasi yang benar dan obyektif tentang masalah kontrasepsi dan sistem reproduksinya.
Institusi struktural kekuasaan yang paling tinggi adalah negara, yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dan berpengaruh terhadap kehidupan perempuan. Negara sebagai sebuah wilayah dengan struktur ekonomi, sosial, politik dan budaya, merupakan sebuah kompleksitas kekuasaan yang dominan dan menjadi pusat otoritas di tingkat publik. Idealnya, negara dengan kekuasaan tertinggi yang dimiliki mampu menjadi tempat perlindungan bagi perempuan dalam memperoleh keadilan. Tetapi
kenyataannya dalam banyak kasus, negara justru semakin membuat posisi perempuan makin terjepit dan mengorbankan korban (victimized the victim(. Dalam kondisi krisis, korban yang paling parah menderita adalah perempuan dan anak. Tetapi kondisi tersebut tidak menjadikan isu perempuan menjadi sesuatu yang diangap vital. Bahkan partai-partai politik peserta pemilu 2004 (apalagi pemilu-pemilu sebelumnya( tidak mengangkat isu perempuan sebagai isu vital dalam program sosial politik mereka. Hasil penelitian Demos menunjukkan kualitas sikap partai terhadap isu-isu dan kepentingan vital masyarakat sangat buruk (90.1%(. Pasca reformasi kualitas tersebut bukannya membaik malah cenderung memburuk (56.5%(.5 Sementara isu dan kepentingan yang terkait dengan perempuan semakin hari semakin mendesak untuk diperhatikan. Persoalan yang berkaitan dengan perempuan semakin menguat khususnya sejak terjadinya krisis multi dimensi yang melanda Indonesia sejak 1997 hingga sekarang. Dampak yang paling besar menimpa kaum perempuan dengan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan yang cenderung meningkat, baik di sektor privat maupun publik. Setidaknya pada tahun 2001 terjadi 3.169 kasus kekerasan terhadap perempuan. Tahun 2002 terjadi peningkatan sebanyak 5.163 kasus. Sementara pada tahun 2003, 53% insiden kekerasan terhadap perempuan terjadi di lingkungan komunitas termasuk di daerah konflik bersenjata Aceh dan 46% terjadi di lingkungan keluarga.6 Belum lagi kasus-kasus buruh migran Indonesia di luar negeri yang terlihat kurang mendapat perlindungan dari pemerintah Indonesia.
Menurut catatan Konsorsium Buruh Migran Indonesia, pada tahun 2001 terdapat 2.231.143 kasus, 33 di antaranya kehilangan nyawa dan 107 mengalami penganiayaan disertai pemerkosaan. Pada tahun 2002, kasus buruh migran yang tewas meningkat menjadi 177 orang, termasuk yang meninggal di Nunukan.7 Contoh-contoh kasus tersebut menunjukkan belum maksimalnya kinerja pemerintah dalam memberikan perlindungan dan dukungan terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan, termasuk mereka yang menjadi pelintas batas sebagai tenaga kerja wanita di luar negeri. Hal ini terlihat dalam kinerja pemerintah dalam memberikan hak untuk bekerja/berusaha dan memperoleh jaminan sosial serta terpenuhinya kebutuhan dasar termasuk kesehatan yang dinilai sangat buruk kualitasnya. 
Meskipun sudah pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on the Elemination  of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW(, tetapi pemerintah Indonesia belum melaksanakan dengan maksimal. Hal ini sekali lagi karena negara merupakan pihak yang ikut melestarikan budaya patriarki dengan produk peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan belum memberikan keuntungan bagi perempuan.
Sehingga perlu adanya gerakan untuk mendesakkan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan di segala bidang. Disinilah pentingnya partisipasi perempuan dalam politik karena yang sunguh-sungguh memahami dan mengerti persoalan dan kondisi perempuan adalah perempuan itu sendiri.
Dengan masuknya perempuan dalam ranah politik (publik( diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap produk-produk kebijakan yang dihasilkan, khususnya yang berkaitan langsung dengan kehidupan perempuan. Apalagi pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi yang berkaitan dengan partisipasi politik perempuan, yaitu Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan (The Convention on Political Rights for Women). Artinya pemerintah Indonesia wajib untuk melaksanakan setiap bagian dan pasal konvensi tersebut secara maksimal. Karena pada dasarnya hak politik perempuan dalam arti luas adalah bagian integral dan tidak dapat dipisahkan dari hak azasi manusia, dan sebaliknya, hak asasi manusia merupakan aspek fundamental dari berbagai kerangka kerja demokratik.
III.    Persoalan Keterwakilan (dan Perwakilan) Perempuan dalam Politik
Keterlibatan perempuan dalam kehidupan politik pada masa sekarang sudah tidak terhindarkan lagi. Hal ini menjadikan wacana dan isu perempuan menjadi isu strategis dalam setiap program baik di tingkat internasional, nasional maupun lokal. Bahkan seringkali isu perempuan diangkat sebagai sarana untuk menarik simpati publik.
Keterlibatan perempuan dalam struktur kekuasaan formal tidak serta merta mengindikasikan adanya keadilan dan kesetaraan gender. Tetapi harus dilihat lebih jauh terhadap produk-produk kebijakan atau keputusan yang ada sudah mempunyai perspektif gender. Hasil temuan Demos menunjukkan bahwa kualitas kinerja hak dan institusi yang berkaitan dengan persoalan perempuan, dalam hal ini kesetaraan jender dan partisipasi dan akses kaum perempuan pada kehidupan publik, adalah baik meskipun tidak terlalu signifikan. Tetapi pasca 1999 kualitas kinerja hak dan institusi tersebut mengalami perkembangan yang membaik. Hal ini khususnya berkaitan dengan kebebasan dan keterbukaan bagi kaum perempuan untuk lebih mengaktualisasikan diri mereka di ranah publik.
Pesta demokrasi lima tahunan telah usai. Menarik untuk dilihat kembali bahwa isu perempuan menjadi salah satu penarik massa dalam kampanye partai-partai. Perempuan menjadi ‘primadona’ dalam setiap percakapan politik, kampanye dan dalam berbagai wacana di media. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perempuan memainkan peran penting dalam menentukan perolehan suara suatu partai. Jika kita kembali merujuk pada pengalaman pemilu legislatif 2004, maka kita dapat melihat bahwa perempuan sebenarnya mempunyai pengaruh suara yang signifikan dalam pengumpulan suara bagi partainya. Bahkan pada beberapa partai caleg perempuan memperoleh suara terbanyak tetapi terpaksa harus “menyerahkan” suaranya kepada caleg dengan nomor urut di atasnya karena mekanisme internal partai dalam penyusunan nomor urut caleg. Sementara sangat jarang partai yang menempatkan caleg perempuan di peringkat teratas. Proses eliminasi ini semakin diperkuat dengan pemberlakuan BPP (Bilangan Pembagi Pemilih(. Hal ini berakibat menghambat dan merugikan caleg yang berada di nomor urut tengah-bawah untuk memperoleh kursi.
Data di bawah ini menunjukkan caleg perempuan yang mengumpulkan suara terbanyak tetapi tidak bisa memperoleh kursi karena sistem BPP. Hasil tersebut mungkin sangat mengecewakan bagi calon yang bersangkutan khususnya dan kaum perempuan pada umumnya. Tetapi pada sisi lain kita dapat melihat bahwa sesungguhnya perempuan mempunyai kemampuan untuk bersaing memenangkan pemilihan. Sekali lagi kegagalan ini akibat dari sistem politik yang masih patriarkis dimana persoalan keadilan dan kesetaraan masih menjadi dominasi laki-laki. Apalagi jika kita benturkan dengan hasil riset Demos mengenai kinerja hak dan institusi yang berkaitan dengan kesetaraan warga yang menunjukkan kinerja yang sangat buruk (82%(. Kita juga dapat melihat betapa rendahnya jumlah perempuan yang berhasil/mampu menduduki jabatan formal baik dalam eksekutif maupun legislatif. Data di bawah ini menunjukkan minimnya partisipasi perempuan dalam politik. Melihat lambannya kenaikan jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam politik, maka diperlukan metode yang lebih efisien untuk meningkatkan keterwakilan mereka. Kuota 30% merupakan salah satu jawaban yang tepat untuk peningkatan partisipasi perempuan dalam politik saat ini. Peraturan yang termuat dalam Undang-undang Pemilu No.12/1999 pasal 65 ayat 1 tersebut menandaskan bahwa setiap partai politik peserta pemilu dalam pengajuan calon legislatif dapat memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Inilah yang membuat pemilu 2004 menjadi menarik untuk dicermati karena dalam proses pencalonan anggota legislatif, hampir semua partai politik mencalonkan perempuan sebagai calon legislatif.
Patut disayangkan bahwa pada akhirnya kuota 30% bagi perempuan masih sebatas teori semata. Tetapi pada kenyataannya adalah jauh dari apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Jika kita bicara partisipasi politik perempuan, khususnya keterlibatan mereka dalam lembaga-lembaga politik formal, maka yang terjadi adalah rendahnya representasi perempuan di dalamnya.14 Ternyata intervensi politik melalui aturan tersebut masih belum mampu memberikan pengaruh yang berarti dalam peningkatan jumlah perempuan di legislatif. Hal ini terlihat dalam jumlah perolehan kursi bagi wakil perempuan yang berhasil duduk di kursi DPR pada pemilu 2004.
Berdasarkan hasil KPU, dari 550 kursi DPR, perempuan hanya mengisi sejumlah 61 kursi saja atau hanya sekitar 11,09% dari seluruh total kursi yang ada. Dari 17 partai politik yang mendapat kursi di DPR, hanya 9 partai politik saja yang menempatkan anggota perempuan. Padahal dalam pencalonan anggota legislatif, rata-rata persentase nominasi perempuan dari seluruh parpol peserta pemilu mencapai 32,2% atau sejumlah 2.507 caleg perempuan dari total 7.756 caleg yang terdaftar.Menurut Ery Seda, ada anggapan bahwa mekanisme kuota ini adalah proses belas kasihan. Persoalan paling berat adalah ketidakpedulian orang yang menganggap isu perempuan adalah hal yang sepele dan tidak strategis. Kedua adalah budaya patriarki yang masih kuat di kalangan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan.Kondisi sosial politik belum sepenuhnya memungkinkan partisipasi perempuan secara utuh dalam parlemen. Peran serta perempuan dalam kancah politik baru sebatas wacana. Masih kuatnya nilai-nilai tradisional dan agama yang menghambat kiprah perempuan tampil dalam kehidupan publik, khususnya sebagai pemimpin. Di banyak negara termasuk Indonesia, terdapat persoalan dalam masalah peran dan posisi gender antara laki-laki dan perempuan. Selama ini jika kita bicara masalah politik maka sudah hampir dipastikan bahwa yang dimaksud adalah dunia publik yang penghuninya
adalah laki-laki. Hal ini berarti pada saat yang bersamaan kita sudah mendiskualifikasi perempuan untuk terlibat di dalamnya. Seperti yang diungkapkan oleh Lies Marcoes mengenai fatwa anti pemimpin perempuan yang dikeluarkan seorang ulama di Jawa Timur menyikapi pencalonan Megawati menjadi Presiden untuk periode 2004 - 2009. Fatwa ini merupakan yang kedua kalinya terdengar setelah rejim Orde Baru jatuh berkaitan dengan majunya calon perempuan menjadi orang nomor satu di Indonesia. Pada titik inilah terjadi diskriminasi politik terhadap perempuan di dalam kehidupan demokrasi. Konsep-konsep seperti kompetisi, partisipasi politik dan kebebasan sipil dan politik dalam politik nyata ternyata hanya sebatas dunia laki-laki (maskulin(. Tetapi jika ada perempuan yang terlibat di sana, maka mereka pun harus masuk dan berperilaku sebagai laki-laki. Nilai-nilai tradisional yang mengakar begitu kuat merupakan hambatan yang paling mendasar dalam pemberdayaan perempuan, khususnya dalam masalah partisipasi politik dan kepemimpinan politik. Meskipun telah ditetapkan dalam kebijakan resmi, mekanisme kuota 30% ini menuai perdebatan, baik yang mendukung maupun menentang, tidak hanya dari kaum lakilaki tetapi juga dari kaum perempuan. Alasan bagi mereka yang menyatakan mendukung kuota antara lain:
•    Kuota bukan diskriminasi tapi kompensasi bagi kendala nyata yang dihadapi  perempuan untuk secara adil dapat berpartisipasi dalam politik;
•    Kuota sebagai langkah sementara untuk mengatasi ketidakseimbangan yang terutama dirasakan oleh perempuan;
•    Sebagai warganegara, perempuan mempunyai hak politik yang sama dengan  laki-laki;
•    Kualitas perempuan seringkali dipandang rendah dibandingkan laki-laki;
•    Partai politik yang menentukan calon, bukan pemilih;
•    Pengalaman perempuan berbeda dari laki-laki.
Sementara yang menentang kuota memberikan argumen mereka sebagai berikut:
    Sistem kuota dianggap tidak demokratis karena perempuan dianggap tidak  terpilih sehingga tidak representatif;
    Sistem kuota justru melecehkan perempuan karena secara tidak langsung menganggap perempuan tidak layak atau tidak mampu menduduki posisi tersebut, sehingga harus dibantu;
    Perempuan yang terpilih melalui sistem kuota hanya dianggap sebagai simbol, sehingga posisinya tidak akan membawa perubahan nyata;
    Sistem kuota berlawanan dengan prinsip kesempatan yang sama bagi semua, karena perempuan mendapat prioritas;
    Memberlakukan kuota akan menimbulkan konflik dalam organisasi;
    Kuota menyiratkan politisi dipilih berdasarkan gender mereka dan bukan karena kualitas.
Selain argumen-argumen yang pro dan kontra tersebut juga terdapat beberapa kendala yang ikut mempengaruhi terhambatnya partisipasi perempuan dalam ranah politik. Pertama, faktor sosial politik. Partai politik merupakan faktor esensial dalam meningkatkan partisipasi perempuan untuk menempati posisi publik. Selain itu jenis sistem pemilu ikut memberikan andil dalam menentukan dapat tidaknya perempuan duduk sebagai anggota legislatif. Selama ini sistem pemilu umumnya sangat diskriminatif gender sehingga cenderung didominasi oleh laki-laki. Kedua, faktor sosial budaya. Perempuan selama ini selalu menempatkan/ditempatkan dalam ruang domestik sementara ruang publik merupakan daerah kekuasaan laki-laki. Tetapi jika ada perempuan yang merambah ruang publik maka dia akan dibebankan dengan peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan wanita karir. Selain itu persoalan kurang meratanya pendidikan menjadi kendala dalam proses keadilan gender. Ketiga, faktor sosial ekonomi. Pada dasarnya pembangunan ekonomi dan politik tidak berjalan seiring dengan kepentingan perempuan. Persoalan kemiskinan menjadi penghalang besar yang membuat perempuan menjadi korban ganda. Himpitan kemiskinan membuat perempuan tidak mempunyai waktu dan kesempatan untuk berpolitik.
Kuota 30% ini memang pada akhirnya merupakan sebuah affirmative action dalam meningkatkan keterwakilan perempuan melalui kebijakan publik. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk menghapuskan ketidakseimbangan dalam representasi politik. Menurut Ery Seda, perempuan merupakan bagian dari kelompok marginal. Jika ingin mendapatkan keadilan dan kesetaraan di dalam masyarakat akan membutuhkan waktu yang lama jika harus menunggu perubahan kultur. Maka perlu ada sedikit intervensi yang mempercepat, yaitu politik. Melalui proses politik, akan ada instrumen-instrumen hukum yang dicapai dan sifatnya juga adil jender.Mekanisme kuota ini dimaksudkan untuk menciptakan garis start yang sama dimana aturan main ditentukan oleh struktur sosial yang cenderung tidak berperspektif gender. Mekanisme ini juga sementara sifatnya dan dapat dihentikan ketika kebutuhan dan suara perempuan sudah terwakili di parlemen dan penerapan affirmative action sudah terlaksana.
IV.    Agenda Politik Perempuan ke Depan
Peran dan partisipasi perempuan merupakan prasyarat mutlak bagi proses demokrasi. Pada prinsipnya perempuan merupakan pelaku politik yang paling memahami kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri. Sehingga mereka harus terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan publik, khususnya yang berhubungan langsung dengan kepentingan mereka. Sedikitnya ada empat strategi dan aksi yang bisa diambil yang perlu dilakukan untuk meningkatkan peran dan partisipasi perempuan dalam ranah publik (politik(. Pertama, strategi dan aksi politik terhadap negara. Di dalam negara ini tercakup lembaga-lembaga negara, parlemen dan partai politik. Lembaga-lembaga negara dalam hal ini adalah pemerintah dan birokrasi merupakan institusi pemegang kekuasaan untuk mendorong partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik. Upaya melalui parlemen sedikitnya melalui empat bidang perubahan yang berdampak pada partisipasi perempuan. Bidang perubahan tersebut adalah
a.    Institusional/Prosedural: membuat parlemen lebih ‘ramah perempuan’ melalui langkah-langkah yang memajukan kepedulian gender yang lebih besar;
b.     Representasi: Menjamin keberlanjutan dan peningkatan akses perempuan ke parlemen, dengan mendorong calon-calon perempuan, merevisi undang-undang pemilu, memajukan legislasi yang berperspektif gender;
c.    Dampak/pengaruh terhadap keluaran (Output) : “Feminisasi” legislasi dengan memastikan bahwa ia sudah memperhitungkan keprihatinan perempuan; dan
d.    Diskursus: Mengubah
bahasa parlementer sehingga perspektif perempuan menjadi suatu hal yang wajar dan mendorong perubahan sikap terhadap perubahan perempuan.Kedua, strategi dan aksi terhadap masyarakat. Masyarakat disini meliputi keluarga, komunitas, lembaga pendidikan dan keagamaan, organisasi sosial, kelompok budaya. Strategi dan aksi disini melalui penyadaran dan sosialisasi tentang pentingnya partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik. Ketiga, membuat jaringan aktivis perempuan yang masuk dalam struktur baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Jaringan yang sudah saat ini misalnya Kaukus Politik Perempuan Indonesia (KPPI). Organisasi ini mewadahi aktivis perempuan dari berbagai partai politik (tetapi mereka tidak mewakili partai dan masing-masing telah melepas baju kepartaiannya) dan berjuang untuk meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik. Sebagai anggota partai mereka mempunyai peluang untuk melakukan lobi dan negosiasi dengan partai politik masing-masing untuk meningkatkan partisipasi dan representasi perempuan di dalam politik. Keempat, konsolidasi gerakan perempuan di Indonesia. Selama ini gerakan perempuan cenderung mengalami fragmentasi di kalangan aktivis perempuan berdasarkan aliran-aliran yang mempengaruhi pola gerakan mereka. Hal ini membuat gerakan perempuan menjadi tidak solid dan nampak terpecah-pecah berdasarkan kepentingan dan orientasi gerakan para aktivisnya. Selain itu gerakan perempuan di Indonesia terkesan eksklusif dibandingkan dengan gerakan-gerakan pro demokrasi dari sektor lain. Sehingga sudah saatnya gerakan perempuan di Indonesia mulai menentukan strategi dan aksi bersama tanpa memandang aliran maupun mazhab yang melatarbelakangi gerakan masing-masing aktivis maupun lembaga. Setelah konsolidasi internal gerakan perempuan, agenda selanjutnya adalah memasuki gerakan pro demokrasi yang lebih luas dengan memperluas gerakan dan hubungan dengan kelompok-kelompok pro demokrasi sektor lain. Strategi ini akan mampu memperluas gerakan dan isu tentang partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik dan diharapkan mampu membantu mempercepat penyebaran proses penyadaran di kalangan masyarakat.
Pada akhirnya keadilan dan kesetaraan gender menjadi agenda utama dan prioritas untuk segera dilaksanakan dalam mencapai kesetaraan penuh dengan laki-laki dalam semua aspek. Demokrasi tidak mungkin tercapai jika perempuan tidak memperoleh kesempatan dan akses yang setara dengan laki-laki, khususnya dalam pengambilan keputusan. Karena hal ini berarti menempatkan perempuan sebagai silent majority yang tidak mempunyai wewenang bahkan terhadap dirinya sendiri. Jaminan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga publik merupakan wujud dari kedaulatan rakyat. Jika hal ini terpenuhi maka masyarakat demokratis yang didambakan akan tercapai.

0 komentar: